Kamis, 30 Desember 2010

Guru = Toleransi

Tidak ada guru yang tidak ingin menyelamatkan anak didiknya. Jiwa untuk mencerdaskan anak bangsa sudah otomatis terpatri pada jiwa manusia yang disebut guru. Profesi yang mulia ini menduduki tempat terbaik dan mendapat perhatian khusus serta penghargaan yang setinggi-tingginya di mata masyarakat dan pemerintahan.
Guru bagaikan hidup di dalam akuarium, sehingga setiap orang dapat melihat dengan jelas. Guru pasti sulit tampil dengan akhlak yang berbeda dari akhlak sejati mereka. Jika kejujuran, ketekunan dan sifat baik yang dapat diandalkan merupakan bagian dari akhlak guru maka orang lain akan mengenali dan menganggap guru tersebut sebagai pribadi yang berkualitas dan akan mampu mendidik anak-anak di sekolah. Namun masih banyak kekerasan di sekolah baik secara psikis maupun verbal, antara guru dengan murid. Masih banyak guru mempunyai paradigma mendidik dengan kekerasan. Fenomena apa yang terjadi pada guru-guru kita? Jika guru sebagai panutan lalu apa yang menggelitik emosi guru hingga mampu berbuat kekerasan baik secara fisik maupun verbal kepada siswanya? Ataukah siswa yang kurang diberikan pendidikan akhlak dan moralitas?
            Banyak komentar-komentar dan anjuran diberikan, bahkan pokok permasalahan kekerasan anatara guru dan siswa diangkat sebagai tema seminar. Slogan ‘tidak boleh ada kekerasan di sekolah’ sudah sering kita dengar. Kurikulum yang berkembang saat ini seolah hanya menguntungkan siswa, pembelajaran dianjurkan tidak menjadi beban bagi anak didik, sedangkan guru lebih banyak bekerja dibandingkan mereka.
            Di masa lalu, guru, sang pemelihara ilmu pengetahuan, hanya perlu menjejalkan informasi ke dalam kepala siswa, wadah yang siap untuk menampung ilmu pengetahuan. Guru hanya berbicara dalam bentuk kuliah panjang dan siswa akan menyerap dan menyimpan informasi. Sedangkan satu-satunya tugas siswa adalah duduk tenang di bangku dan mendengarkan. Untuk membalikkan badan ataupun mengobrol di kelas pada saat guru didepan terasa sungguh berat dilakukan. Sebisa mungkin siswa menghindari guru pada saat-saat tertentu, kalaupun berpapasan, kepala murid akan tertunduk sambil memberikan salam selembut-lembutnya. Gambaran masalah disiplin, pedoman belajar yang tinggi dan penghargaan terhadap sang guru terlihat jelas. Pada masa sekarang ini, dimana dunia teknologi telah terkuasai oleh setiap manusia, siswa pada khususnya, komunitas belajar membutuhkan siswa berinteraksi. Siswa dapat memilih sendiri cara berpikir, merasa dan bertindak. Di kelas, para siswa berjalan-jalan, berinteraksi, tertantang dan bersenang-senang. Guru dituntut mendahulukan interaksi dalam lingkungan belajar.
            Apakah selama ini interaksi yang diberikan oleh guru menjadi berlebihan hingga siswa tidak memiliki nilai-nilai penghargaan kepada guru?
            Dari beberapa kasus yang terjadi dan disorot oleh media cetak maupun televisi, bahwa kekerasan terjadi dimulai karena adalah kesalahan maupun kecerobohan yang dilakukan siswa. Pada awalnya guru hanya menegur biasa, namun terjadi interaksi balik dari siswa; mencemooh, meremehkan bahkan sanggup mengeluarkan kata-kata kotor. Dari sinilah emosi terpancing hingga kekerasan fisik terjadi. Guru memukul siswa. Terjadilah kekerasan fisik. Di lain pihak, masih ada beberapa guru melakukan kekerasan secara verbal, sebagai bentuk ketegasan. Bentuk kekerasan verbal seperti mengucapkan kata-kata kasar yang ditujukan kepada siswa-siswa.
            Era globalisasi saat ini menuntut guru memberikan toleransi yang tinggi terhadap anak didiknya. Guru harus dapat membangun ikatan emosional dengan menciptakan kesenangan dalam belajar, menjalin hubungan dan menyingkirkan segala ancaman dari suasana belajar. Ketegasan harus dibugkus dengan kasih sayang, rasa simpati dan saling pengertian. Guru memang terbelenggu oleh peraturan yang harus dipatuhi, seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP, dsb. Toleransi harus tetap diberikan kepada siswa dalam penyelesaian berbagai masalah di sekolah dan mengharuskan guru berbesar hati, walau terkadang menghadapi kenyataan di luar kemampuannya sebagai manusia biasa, guru tetap mengupayakan keberhasilan anak didik dan menghindarkan kegagalan. Merupakan PR bagi guru untuk terus membimbing siswa yang tidak mampu dalam pengetahuan, atau memiliki nilai ‘kurang’ secara akademis untuk terus diolah, dibolak-balikkan agar tujuan penuntasan belajar tercapai.
            Seiring dengan pemberian insentif dan tunjangan yang mulai membaik, diterima ataupun tidak,  guru tetap menjadi rekan belajar, model, pembimbing, fasilitator dan penggugah kesuksesan anak didik. 

PERBEDAAN GAYA BERPIKIR PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Ada tiga hal yang membedakan lelaki dan perempuan, yaitu struktur fisik, organ reproduksi dan cara berpikir. Struktur otak dan pengaruh hormonal diketahui sebagai penyebab perbedaan tersebut. Perempuan dan laki-laki memang berbeda dalam cara menyelesaikan masalah (way of problem solving) namun perbedaan itu tidak menunjuk pada kualitas berpikir. Kombinasi dua gaya berpikir dan perbedaan kedalaman emosional membuat dua makhluk ciptaan menjadi istimewa jika bekerja sama. Perbedaan itu layaknya siang-malam, hitam-putih, baik-jelek, atau tinggi-rendah. Mereka tak mungkin disamakan, karena memang berbeda.
            Gender merupakan suatu konstruksi sosial atas perbedaan peran perempuan dan laki-laki. Struktur otak perempuan dan laki-laki pun berbeda. Namun perbedaan disini tidak menghasilkan perbedaan dalam tingkat kecerdasan (level of intelligence) kecuali bagaimana mereka mengatur kecerdasan mereka sendiri. Pada peran misalnya, perempuan cenderung lebih suka pada peranan domestik, sementara laki-laki pada peranan publik, termasuk dalam urusan seks, perempuan lebih ‘’pemalu’’ dan laki-laki justru lebih agresif. Implikasi menunjukkan perbedaan dalam hal emosi, tingkah laku seksual, proses berbahasa, kemampuan sosial dan problem-problem matematis. Perbedaan tersebut terjadi karena faktor genetika yang memang telah ‘’diciptakan’’ sedemikian rupa dari sono-nya. Tanpa diberikan pengarahan dan pendidikan apapun, perempuan cenderung menyukai boneka dan alat dapur, sedangkan si laki-laki memilih mobil-mobilan.

Emosi
            Kebanyakan kriminalis adalah kaum laki-laki. Kebanyakan perangkai bunga adalah kaum perempuan. Ini bukan sebuah ungkapan tanpa dasar.Richard Haier, guru besar saraf dari Universitas California di Irvine, berhasil membuktikan bahwa kenyataan tersebut mempunyai dasar ilmiah. Haier, dengan alat bantu PET (Positron Emission Tomorgraphy), menemukan kenyataan bahwa ketika menganggur, aktivitas otak laki-laki lebih banyak terjadi pada daerah limbic temporal. Daerah ini adalah pengatur emosi yang berhubungan dengan aksi motorik, teristimewa perilaku ‘’yang suka memukul jika sedang marah’’. Laki-laki yang beringas, apalagi ketika marah dengan emosi tidak terkontrol, akan disalurkan melalui pukulan tangan, tendangan kaki dan makian. Apabila ia memegang senjata atau pisau, hampir pasti seseorang di hadapannya akan cedera dan luka-luka. Tidak usah heran, daerah limbic temporal merupakan sisa dari otak reptil ketika mengalami proses evolusi. Sangat menarik, karena istilah ‘’buaya darat’’ (buaya adalah salah satu jenis reptil) lebih kerap dipakai untuk menunjuk para laki-laki hidung belang.
Sebaliknya, pada kaum perempuan saat istirahat, aktivitas otak lebih banyak terjadi pada cingulate gyrus. Daerah ini, yang dalam evolusi merupakan turunan otak mamalia sebenarnya bertanggung jawab dalam mengontrol ekspresi emosi. Ketika marah, seorang perempuan cenderung membelalakkan matanya daripada memukul, menendang atau memaki.

Kemampuaan Berbahasa      
            Menakjubkan, sifat cerewet perempuan ternyata memiliki dasar biologis. Dalam mengumbar kata-kata, perempuan memang lebih hebat daripada laki-laki. Perempuan memang lebih verbalistis dan memiliki banyak perbendaharaan kata, termasuk jarang melakukan kesalahan berbahasa. Salah satu efeknya, mereka dapat lancar mengungkapkan masalah-masalah emosional yang mereka rasakan. Penghubung belahan otak, korpus kalosum, memang lebih tebal pada perempuan. Dengan itu, aliran informasi menjadi lebih cepat dan lebih banyak.
            Ketika menanjak dewasa, perkembangan bahasa lebih cepat pada anak perempuan. Mereka lebih cepat berbicara, cepat membaca, dan jarang ada kelalaian dalam belajar. Menurut ahli saraf, Sally Shaywitz dan Bennet Shaywitz, ini bisa terjadi karena anak perempuan memakai kedua belahan otaknya saat membaca atau melakukan kegiatan berbahasa lainnya. Perempuan, dalam beberapa kasus, lebih dapat membahasakan, atau menceritakan, apa yang ia rasakan (status emosi). Ia dapat menata kata dan kalimatnya secara teratur, memilih jenis kata (aspek linguistik) yang dapat melukiskan perasaannya, dan memilih intonasi dan aksentuasi tertentu yang mendukung emosinya (aspek paralinguistik).

Pengenalan Ruang (Spasial)
            Dalam membayangkan (mental image) posisi atau gerakan, laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Laki-laki, hanya dengan pembayangan di dalam pikirannya, dapat melukiskan posisi dan gerakan sebuah benda tiga dimensi. Pada bagian otak laki-laki, Lobus parietal bawah, adalah penanggung jawab pengenalan spasial. Dan pada laki-laki, ukurannya kurang lebih 6 persen lebih besar dibandingkan perempuan. Daerah itu mengatur ‘’kemampuan visio-spasial’’ dan sangat perlu untuk tugas-tugas matematika dan arsitektur. Perlu dipahami bahwa dalam kemampuan pengenalan ruang, laki-laki lebih unggul daripada perempuan, tetapi itu bukan dasar bagi perbedaan kecerdasan.
            Lobus parietal bawah, pada seorang lelaki genius bernama Albert Einstein, ternyata 15 persen lebih lebar dibandingkan pada 36 otak laki-laki dan 56 otak perempuan lainnya. Sandra Witelson, ahli saraf dan pengelola bank otak di Kanada, menemukan keunikan setelah menganalisis penggalan-penggalan otak Einstein, yang meninggal tahun 1955 karena pecahnya pembuluh darah otak. Perbedaan ukuran otak Eistein cocok betul dengan perilaku ilmiahnya ketika hidup. Einstein, dalam beberapa kesempatan, sering menceritakan cara ia memperoleh beberapa rumus matematika. Ia cukup ‘’menghayal’’ atau membayangkan otaknya saja, lalu diadakan pembuktian di laboratorium. Teori relativitas yang sangat terkenal, misalnya, lahir dari ‘’khayalan’’ Einstein tentang manusia yang mengarungi alam semesta dengan sekejap mata saja. Imajinasi visio-spasial seperti itu laki-laki lebih unggul daripada perempuan.

            Dari semua yang diuraikan diatas, bahwa memang laki-laki dan perempuan berbeda. Perjuangan para feminis, dengan kesetaraan gender dan emansipasi dalam kehidupan sehari-hari, akan memiliki implikasi jika disadari perbedaan tersebut. Keberadaan Hawa  yang menemani Adam, sebagaimana diceritakan dalam kitab-kitab suci adalah sebuah keseimbangan. Untuk mengetahui malam, harus ada siang, untuk mengetahui putih, harus ada hitam. Keseimbangan-keseimbangan tersebut telah dibuat sedemikian rupa. Menjaga keseimbangan itu jauh lebih penting daripada mencoba-coba melahirkan keseimbangan-keseimbangan baru.

Oleh: Vera Vianty Mala

REWARD UNTUK SISWA

            Seperti yang kita ketahui bahwa pengertian Reward pada umumnya adalah pemberian penghargaan kepada seseorang atas sesuatu yang telah dihasilkan. Di bidang pendidikan, reward dinilai begitu tinggi harganya. Misalnya saja reward atau penghargaan kepada guru yang berupa sertifikasi, guru berprestasi, dan lain-lain. Tapi bagaimanakah reward terhadap siswa ? Apakah reward hanya diberikan kepada siswa yang berprestasi saja, seperti juara kelas, atau kepada siswa yang telah mengharumkan nama sekolah dengan bakat seni atau lainnya ?    
Reward, betapa besar pengaruhnya terhadap siswa. Tidak hanya berupa piala, piagam, buku-buku ataupun hadiah-hadiah lain. Reward diberikan kepada siswa terutama untuk memicu prestasi agar lebih giat belajar.
            Lalu bagaimana dengan siswa yang biasa-biasa, dalam arti tidak pernah mengikuti lomba yang  mewakili nama sekolah, atau siswa yang nilainya pas-pasan dan tidak pernah mendapat juara kelas?
            Seorang yang mulia, yaitu guru, merupakan pembangkit semangat  bagi anak didik yang lemah. Dengan kata-kata yang mengalir sebagai penyejuk jiwa para siswa, dan meyakini bahwa setiap anak didiknya mempunyai kesempatan mendapat reward. Tidak perlu berupa materi, seperti yang pernah dilakukan oleh seorang pendidik, dimana pada saat praktek komputer, reward diberikan kepada siswa yang telah selesai mengerjakan tugas dan boleh menuliskan namanya di papan tulis, berurutan mulai dari yang selesai pertama kali sampai yang terakhir. Pada pembelajaran berikutnya, para siswa berlomba untuk mengerjakan tugas dengan baik dan cepat. Seperti juga yang pernah dilakukan seorang guru yang memuji sebuah gantungan kunci seorang siswanya yang ternyata  dibuat sendiri olehnya dari biji buah karet. Tanpa disangka-sangka keesokan harinya siswa tersebut membawa hasil karyanya yang lain dari rumah, yang dibuatnya juga dari biji buah karet.
            Masih banyak lagi contoh, yang menggambarkan betapa dasyatnya sebuah reward yang begitu sederhana namun besar dampaknya bagi para siswa. Reward membangkitkan pemikiran positif terhadap siswa. Tidak perlu berupa materi. Reward bisa diberikan dalam bentuk tepuk tangan, pujian, kata-kata motivasi dan perlakuan yang menjadikan siswa teladan bagi rekan-rekannya.
            Suatu ketika seorang laki-laki yang berpenampilan seorang pejabat, menghampiri seorang pemuda. ‘’Dik, salam untuk Ayahmu. Katakan bahwa aku adalah muridnya, yang pernah putus asa namun berkat semangat dari beliau, aku bisa seperti ini. Aku menyukai tepukan tangannya di bahuku….dan sekarang selalu aku lakukan terhadap anak buahku.’’
            Beberapa waktu lalu suasana haru, gembira menjadi satu, dimana para siswa sekolah menengah pertama dan sekolah atas telah mendapatkan hasil UN, begitu juga hasil PBUD. Juga beberapa saat lagi para siswa lain pun akan memasuki kenaikan kelas, untuk jenjang selanjutnya.
         Sudah selayaknya bagi orang tua, pendidik dan yang terlibat pada dunia pendidikan memberikan reward yang dapat  memotivasi siswa untuk menjadi lebih baik hingga dapat meningkatkan kualitas dan menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Reward sebaiknya tidak membuat anak didik kita menjadi terlena hingga melupakan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri.            Seperti yang kita ketahui bahwa pengertian Reward pada umumnya adalah pemberian penghargaan kepada seseorang atas sesuatu yang telah dihasilkan. Di bidang pendidikan, reward dinilai begitu tinggi harganya. Misalnya saja reward atau penghargaan kepada guru yang berupa sertifikasi, guru berprestasi, dan lain-lain. Tapi bagaimanakah reward terhadap siswa ? Apakah reward hanya diberikan kepada siswa yang berprestasi saja, seperti juara kelas, atau kepada siswa yang telah mengharumkan nama sekolah dengan bakat seni atau lainnya ?    
Reward, betapa besar pengaruhnya terhadap siswa. Tidak hanya berupa piala, piagam, buku-buku ataupun hadiah-hadiah lain. Reward diberikan kepada siswa terutama untuk memicu prestasi agar lebih giat belajar.
            Lalu bagaimana dengan siswa yang biasa-biasa, dalam arti tidak pernah mengikuti lomba yang  mewakili nama sekolah, atau siswa yang nilainya pas-pasan dan tidak pernah mendapat juara kelas?
            Seorang yang mulia, yaitu guru, merupakan pembangkit semangat  bagi anak didik yang lemah. Dengan kata-kata yang mengalir sebagai penyejuk jiwa para siswa, dan meyakini bahwa setiap anak didiknya mempunyai kesempatan mendapat reward. Tidak perlu berupa materi, seperti yang pernah dilakukan oleh seorang pendidik, dimana pada saat praktek komputer, reward diberikan kepada siswa yang telah selesai mengerjakan tugas dan boleh menuliskan namanya di papan tulis, berurutan mulai dari yang selesai pertama kali sampai yang terakhir. Pada pembelajaran berikutnya, para siswa berlomba untuk mengerjakan tugas dengan baik dan cepat. Seperti juga yang pernah dilakukan seorang guru yang memuji sebuah gantungan kunci seorang siswanya yang ternyata  dibuat sendiri olehnya dari biji buah karet. Tanpa disangka-sangka keesokan harinya siswa tersebut membawa hasil karyanya yang lain dari rumah, yang dibuatnya juga dari biji buah karet.
            Masih banyak lagi contoh, yang menggambarkan betapa dasyatnya sebuah reward yang begitu sederhana namun besar dampaknya bagi para siswa. Reward membangkitkan pemikiran positif terhadap siswa. Tidak perlu berupa materi. Reward bisa diberikan dalam bentuk tepuk tangan, pujian, kata-kata motivasi dan perlakuan yang menjadikan siswa teladan bagi rekan-rekannya.
            Suatu ketika seorang laki-laki yang berpenampilan seorang pejabat, menghampiri seorang pemuda. ‘’Dik, salam untuk Ayahmu. Katakan bahwa aku adalah muridnya, yang pernah putus asa namun berkat semangat dari beliau, aku bisa seperti ini. Aku menyukai tepukan tangannya di bahuku….dan sekarang selalu aku lakukan terhadap anak buahku.’’
            Beberapa waktu lalu suasana haru, gembira menjadi satu, dimana para siswa sekolah menengah pertama dan sekolah atas telah mendapatkan hasil UN, begitu juga hasil PBUD. Juga beberapa saat lagi para siswa lain pun akan memasuki kenaikan kelas, untuk jenjang selanjutnya.
         Sudah selayaknya bagi orang tua, pendidik dan yang terlibat pada dunia pendidikan memberikan reward yang dapat  memotivasi siswa untuk menjadi lebih baik hingga dapat meningkatkan kualitas dan menjadikan manusia Indonesia seutuhnya. Reward sebaiknya tidak membuat anak didik kita menjadi terlena hingga melupakan tujuan Pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri.

Oleh: Vera Vianty Mala
(Artikel ini dimuat di Warta Pendidikan-Riau, bulan Maret 2010)